E
S Q
(EMOTIONAL,
SPRIRITUAL QUOTIENT)
I.
PENDAHULUAN
Persoalan pokok kehidupan masyarakat di Indonesia
dan berbagai belahan dunia lainnya pada umumnya adalah dominasi paham
sekularisme yang didorong oleh kehidupan yang serba materialistis. Di banyak
negara maju, banyak orang yang terkategori sukses dalam kariernya namun ia
merasa tidak bahagia. Setelah sukses ternyata ia hanya menjadi budak waktu yang
bekerja untuk memenuhi tuntutan para mitra dan kliennya. Keberhasilannya hanya
menjadi ”penjara” bagi dirinya.
Mereka tidak bahagia dengan kesuksesannya. Umumnya
mereka menyadari telah menaiki tangga yang salah justru setelah mencapai puncak
tertinggi dari anak tangga kariernya. Pada akhirnya, uang yang berlimpah,
harta, pangkat, kedudukan dan penghormatan bukanlah sesuatu yang mereka cari
selama ini. Hal ini menjadi suatu penyakit baru yang dinamakan dengan spiritual
pathology atau spiritual illness.
Fenomena tersebut disinyalir karena kurang adanya keseimabangan antara
kecerdasan Emosional dan Spriritual (ESQ). Saat ini ESQ seolah
menjadi ikon paradigma baru dalam menjalani kehidupan yang penuh turbulensi
bagi para professional dan next generation negeri ini. Target dengan
adanya ESQ dapat menjadi panduan surfing di samudera kehidupan,
senantiasa online dengan pusat kehidupan hakiki, hidup inline
dengan garis orbit kehidupan yang sesungguhnya, dan istiqomah tetap berpusat
pada kiblat dan garis edar yang benar saat offline.
II.
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian
pendahuluan diatas dapat kita tarik beberapa rumusan masalah yang akan dibahas
yaitu;
1.
Bagaimanakah Definisi dari ESQ itu sendiri?
2.
Bagaimanakah Manusia dalam Konsep ESQ?
3.
Bagaimanakah Maningkatkan dan Mengembangkan ESQ dalam
diri manusia?
III.
PEMBAHANSAN
1.
Definisi ESQ
Menurut L. Crow,
dan A.Crow, Emosi adalah pengalaman yang afektif yang disertai oleh penyesuaian
batin secara menyeluruh, dimana keadaan mental dan fisiologi sedang dalam
kondisi yang meluap-luap, juga dapat di perlihatkan dengan tingkah laku yang
jelas dan nyata. Peter salovey dan Jack Mayer pencipta istilah
“kecerdasan Emosional” menjelaskan sebagai kemampuan “kemampuan untuk mengenali
perasaan, meraih dan membangkitkan perasaan untuk membantu pikiran , memahami
perasaan dan maknanya dan mengendalikan perasaan secara mendalam sehingga
membantu perkembangan emosi dan intelektual”.
Dengan kata lain EQ adalah serangkaian kecakapan yang memungkinkan kita
melapangkan jalan di dunia yang rumit-aspek pribadi, social, dan pertahanan
dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri, dan kepekaan yang penting
untuk berfungsi secara efektif setiap hari.
Menurut Goleman (2002) kecerdasan emosional adalah
kemampuan seseorang mengatur kehidupan
emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence);
menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of
emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri,
pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Kecerdasan
emosional : kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan
menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan
kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak
melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.
Berbeda dengan kecerdasan intelektual (IQ) yang cenderung
bersifat permanen, kecakapan emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan
dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih
sukses atau prestasi hidup.
Pusat dari EQ adalah “qalbu” . Hati
mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubah sesuatu yang dipikirkan
menjadi sesuatu yang dijalani. Hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat
diketahui oleh otak. Hati adalah sumber keberanian dan semangat , integritas
dan komitmen. Hati merupakan sumber energi dan perasaan terdalam yang memberi
dorongan untuk belajar, menciptakan kerja sama, memimpin dan melayani.
Mengenai
letak qalb, seorang ulama salaf terkenal yang memiliki otoritas dalam
masalah jiwa, Imam al-Ghazaly, menyatakan bahwa qalb sebagai daging yang
bersuhu panas berbentuk kusama berada di sisi sebelah kiri dada, di dalam
isinya ada rongga yang berisi darah hitam sekali, dan kalbu itu tempat
melahirkan jiwa yang bersifat hewani serta tempat asalnya. Dengan pengertian
ini, kalbu yang dimaksud al-Ghazaly menunjuk kepada jantung. Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan
mengenai hal tersebut dalam surat al-Hajj (22) ayat 46.
óOn=sùr&
(#rçÅ¡o
Îû
ÇÚöF{$#
tbqä3tGsù
öNçlm;
Ò>qè=è%
tbqè=É)÷èt
!$pkÍ5
÷rr&
×b#s#uä
tbqãèyJó¡o
$pkÍ5
(
$pk¨XÎ*sù
w
yJ֏s?
ã»|Áö/F{$#
`Å3»s9ur
yJ֏s?
Ü>qè=à)ø9$#
ÓÉL©9$#
Îû
ÍrßÁ9$#
ÇÍÏÈ
Artinya: “Maka
Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan
itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat
mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta,
ialah hati yang di dalam dada”.
Kecerdasan Emosional (EQ) tumbuh seiring pertumbuhan
seseorang sejak lahir hingga meninggal dunia. Pertumbuhan EQ dipengaruhi oleh
lingkungan, keluarga, dan contoh-contoh yang didapat seseorang sejak lahir dari
orang tuanya.
Kecerdasan Spiritual (Spiritual
Quotient)
Kecerdasan spiritual atau yang biasa dikenal dengan
SQ (bahasa
Inggris: spiritual quotient) adalah kecerdasan
jiwa yang membantu
seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui penciptaan
kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif.
SQ merupakan fasilitas
yang membantu seseorang untuk mengatasi persoalan dan berdamai
dengan persoalannya itu Ciri utama dari SQ ini ditunjukkan dengan kesadaran
seseorang untuk menggunakan pengalamannya sebagai bentuk penerapan nilai dan makna.
Kecerdasan spiritual yang berkembang dengan baik
akan ditandai dengan kemampuan seseorang untuk bersikap fleksibel dan mudah
menyesuaikan diri dengan lingkungan, memiliki tingkat kesadaran yang tinggi, mampu
menghadapi penderitaan dan rasa sakit, mampu mengambil
pelajaran yang berharga dari suatu kegagalan, mampu
mewujudkan hidup sesuai dengan visi dan misi, mampu melihat keterkaitan antara
berbagai hal, mandiri,
serta pada akhirnya membuat seseorang mengerti akan makna hidupnya.
Kecerdasan spiritual atau spiritual intelligence atau
spiritual quotient (SQ) ialah suatu intelegensi atau suatu kecerdasan dimana
kita berusaha menyelesaikan masalah-masalah hidup ini berdasarkan
nilai-nilai spiritual atau agama yang diyakini. Kecerdasan spiritual ialah
suatu kecerdasan di mana kita berusaha menempatkan tindakan-tindakan dan
kehidupan kita ke dalam suatu konteks yang lebih luas dan lebih kaya, serta
lebih bermakna. Kecerdasan spiritual merupakan dasar yang perlu untuk mendorong
berfungsinya secara lebih efektif, baik Intelligence Quotient (IQ) maupun
Emotional Intelligence (EI). Jadi, kecerdasan spiritual berkaitan dengan
kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
Berman
mengungkapkan bahwa kecerdasan spiritual (SQ) dapat memfasilitasi
dialog antara pikiran dan emosi, antara jiwa dan tubuh. Dia juga mengatakan
bahwa kecerdasan spiritual juga dapat membantu sesorang untuk dapat
melakukan transedensi diri. Pengertian lain mengenai kecerdasan
spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan
kegiatan melalui
langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran
integralistik serta berprinsip hanya karena Allah
Kecerdasan
spiritual muncul karena adanya perdebatan tentang IQ dan EQ, oleh
karena itu istilah tersebut muncul sebab IQ dan EQ dipandang hanya menyumbangkan sebagian dari penentu kesuksesan sesorang
dalam hidup. Ada faktor lain yang ikut berperan yaitu kecerdasan
spiritual yang lebih menekankan pada makna
hidup dan bukan hanya terbatas pada
penekanan agama saja
Peran SQ adalah sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Nggermanto
mengatakan bahwa sesorang yang memiliki SQ tinggi adalah orang yang memiliki
prinsip dan visi yang kuat, mampu memaknai setiap sisi kehidupan
serta mampu mengelola dan bertahan
dalam kesulitan dan kesakitan.
2.
Manusia Dalam Konsep ESQ
Konsep
dasar ESQ diawali dengan God Spot yang berupa anggukan universal.
Anggukan universal ini disebut juga dengan suara hati. Semua manusia sama dalam
rasa ingin memberi, kasih sayang, ingin maju, mengetahui, ingin bersih,
memelihara, menolong, melindungi dan menyukai yang indah. Konsep God Spot ini disebut fitrah atau suara hati
yang sama pada setiap manusia. Ary Ginanjar menafsirkan
surat Al-Araf ayat 172 tentang adanya perjanjian antara Allah dengan ruh
manusia sebagai bukti adanya anggukan universal. Ia mencontohkan dengan adanya
persetujuan ketika mendengar atau melihat suatu perbuatan baik seperti
menyaksikan film bermutu atau membaca buku bermutu, mendengar percakapan yang
berkualitas dan lain-lain.
Ary Ginanjar mempersamakan emosi
dengan nafs amarah dan berperan sebagai radar hati . Emosi memiliki dua
kondisi kategori yaitu in-line dan offline dari radar orbit. In-line yaitu ketika emosi sesuai dengan
hati nurani (God Spot) dan offline ketika tidak sesuai dengan
hati nurani. Sedangkan suara hati spiritual adalah nafs mutmainnah. Nilai spiritual menurut Ary
Ginanjar adalah ”nilai-nilai yang berlaku dan diterima oleh semua orang, yang
sesuai dan bisa diterima dalam skala lokal, nasional dan regional ataupun
internasional.” Dijelaskan lebih lanjut bahwa nilai tersebut harus tetap berada
pada orbit spiritual yang dapat diterima oleh seluruh penduduk bumi bahkan
penduduk langit, yang merupakan nilai puncak atau ”ultimate value”.
Nilai ini merupakan prinsip-prinsip yang dapat diterima dalam bahasa bulan,
matahari, bintang dan jiwa manusia yang memiliki fitrah tertinggi.
Lalu ia menambahkan, Yang kita cari adalah nilai
kebenaran tertinggi, nilai keadilan tertinggi, nilai cinta dan kasih tertinggi, nilai
kesetiaan tertinggi, dan nilai kejujuran tertinggi, yang tidak lagi dibatasi
lagi oleh perbedaan manusia. Lalu apakah pusat orbit yang mampu menghasilkan
ini semua ?
Manusia menurut konsep ESQ adalah
makhluk spiritual murni, yaitu makhluk yang ditiupkan ruh-ruh spiritual ke
dalam tubuh manusia. Sifat-sifat tersebut kemudian dipadukan ke dalam materi
konkret berupa tubuh atau jasad manusia yang terbuat dari tanah. Pendapat ini
dibuktikan dengan adanya penemuan ilmiah SQ (Spiritual Quotient) di
California University oleh V.S Ramachandran pada tahun 1997, lalu God Spot oleh
Michael Persinger, Wolf Singer, dan Rudolfo Llinnas tentang osilasi saraf
spiritual. Para ahli tersebut diatas berhasil membuktikan bahwa manusia
memiliki makna tertinggi kehidupan manusia (The Ultimate Meaning).
Ary Ginanjar menegaskan bahwa
penemuan God Spot pada manusia lebih meyakinkan pendapat ini, karena
akan senantiasa mencari Tuhan-nya, yaitu melalui sifat-sifat-Nya, yang selalu
diidam-idamkan manusia dan sekaligus merupakan bukti kepekasaan Allah,
penghambaan serta penghambaan manusia. Ia juga menambahkan bahwa hal ini
yang dinamakan proto kesadaran yang terdeteksi pada osilasi 40 Hz oleh Pare dan
Llinas. Dengan bermodalkan Spritual Quotient (SQ), manusia mengabdi
kepada Allah untuk mengelola bumi sebagai khalifah dan misi utamanya
semata-mata mencari keridhaan Allah, target utamanya adalah menegakan keadilan,
perdamaian dan kemakmuran. Langkah nyatanya berupa spiritualisasi di segala
bidang. Inilah yang menurutnya The Ultimate Meaning sesungguhnya, yang harus
dicari oleh Danah Zohar, dan yang harus dicari oleh Abraham Maslow, yaitu
aktualisasi diri melalui Ihsan.
Ary Ginanjar juga menciptakan 33 spiritual
capital atau collective unconscious yang menciptakan nilai-nilai (value)
serta dorongan dari dalam (drive). Sifat-sifat ini menurutnya termasuk
kategori ihsan, atau menuju sifat-sifat Allah (taqarub), yang terletak
pada spiritual center (God Spot). Nilai-nilai tersebut
diikhtisarkan dari 99 Asmaul Husna yang merupakan proto kesadaran yang
terdeteksi pada osilasi Pare-Llinas, yang dianggap sebagai arketipe oleh
Zohar, yang diduga sebagai super-ego oleh Freud, self-actualization
oleh Maslow, unconscious-mind oleh Carl Jung, dan dinamakan
”makna hidup” oleh Frankl. Ia lalu menamakan nilai-nilai ini sebagai Asmaul
Husna Value Sistem (AHVS) yang menghasilkan ultimate value dan ultimate
drive.
Kecerdasan
spiritual melahirkan iman serta kepekaan yang mendalam. Fungsinya
mencakup hal-hal yang bersifat supranatural dan religius. Inilah yang
menegaskan wujud Tuhan, melahirkan kemampuan untuk menemukan makna hidup, serta
memperhalus budi pekerti, dan dia juga yang melahirkan mata ketiga
atau indra keenam bagi manusia.
Dimensi
spiritual mengantar manusia percaya kepada yang gaib dan ini merupakan
tangga yang harus dilalui untuk meningkatkan diri, dari tingkat binatang yang
tidak mengetahui kecuali apa yang terjangkau oleh panca indranya menuju ke
tingkat kemanusiaan yang menyadari bahwa wujud ini sebenarnya jauh lebih besar
dan lebih luas daripada wilayah kecil dan terbatas yang hanya
dijangkau oleh indra atau alat-alat yang merupakan kepanjangan tangan
indra.
Dengan
kecerdasan emosi manusia mampu mengendalikan nafsu bukan membunuhnya.
Emosi atau nafsu sangat kita butuhkan, sebab dia merupakan salah satu
faktor yang mendorong terlaksananya tugas kekhalifaan, yakni membangun
dunia sesuai dengan kehendak dan tuntunan Ilahi. Dengan kecerdasan itu,
manusia akan mampu mengarahkan emosi atau nafsu ke arah positif sekaligus
mengendalikannya, sehingga tidak terjerumus dalam kegiatan negatif.
Kecerdasan
emosional mendorong lahirnya ketabahan dan kesabaran menghadapi segala
tantangan dan ujian. Salah satu tuntunan Rasul Saw. yang berkaitan dengan
puasa adalah apabila salah seorang di antara kita berpuasa, maka
janganlah dia mengucapkan kata-kata buruk, jangan juga berteriak memaki. Bila
ada yang memakinya, maka hendaklah ia berucap “Aku sedang
berpuasa”, yakni aku sedang mengendalikan nafsuku sehingga tidak
akan berbicara atau bertindak kecuali sesuai dengan tuntunan agama.
Dengan demikian, kecerdasan emosional menjadikan penyandangnya berbicara
dan bertindak pada saat diperlukan dan dengan kadar yang diperlukan,
serta pada waktu dan tempat yang tepat.
Kecerdasan-kecerdasan
itulah yang menjadikan jiwa manusia seimbang dan menjadikannya berfikir logis
dan obyektif, bahkan memiliki kesehatan dan keseimbangan tubuh. Karena, siapa
yang berfungsi dengan baik kecerdasan emosi dan spiritualnya, maka
akan selamat pula anggota badannya dari segala kejahatan dan selamat pula
hatinya dari segala maksud buruk.
3.
Meningkatkan dan Mengembangkan ESQ
Ada beberapa tahap untuk meningkatkan kecerdasan emosional, yaitu:
1.
Mengenali,
menyadari dan meyakini
bahwa emosi itu
ada dan nyata,
dan sedan g terjadi. Terdapat beberapa
emosi dasar pada
manusia, yaitu gembira,
sedih, marah, takut,
kecew,
jijik, dan heran.
Misalnya, pada saat
kita melihat seseorang
menampilkan perilaku yang
tidak sesuai dengan yang
kita harapkan , dan merasa
marah dengan perilaku tersebut, sadarkan
dir k ita bahwa k ita
sedang
me rasa marah.
Kesadaran ini merupakan
dasar dari kecerdasan emosional. Kesadaran akan emosi yang
sedang kita alami
mencakup pengenalan atas
penyebab timbulnya emosi dan bagaimana ekspresi dari
emosi tersebut sehingga
akan mengarahkan kita untuk
membuat keputusan yang tepat dalam
mengatasi keadaan emo si tersebut.
2.
Mengelola emosi,
artinya menan gani perasaan
agar bisa terungkap dengan tepat. Kecakapan mengelola emosi ini
tergantung pada kesadaran
kita akan emosi diri
yang sedang terjadi.
Jika sudah menyadari emosi
yang sedang dialami,
pertimbangkan apakah cara
yang biasa kita lakukan dalam
mengekspresikan emosi memiliki
keselarasan dengan situasi
dan kondisi yang ada.
3.
Memotivasi
diri, yaitu menata
emosi untuk mencapai
tujuan yang sangat
penting. Hal ini berkaitan
dengan pemberian perhatian
untuk memotivasi dan
menguasai diri sendiri serta berkreasi.
Kesadaran akan emosi
yang sedang dialami
dan pertimbangan tentang
cara mengekspresikan emosi tersebut
dijadikan dasar untuk
membuat perencanaan dan
berkreasi. tentang cara menyalurkan emosi,
sehingga apa yang
kita harapkan dapat
dicapai tanpa menimbulkan kerugian pada
lingkungan/orang-orang di sekitar kita.
4.
Bersikap
optimis, artin ya memberikan
semangat pada diri
se ndiri untuk melakukan
sesuatu yang bermanfaat dan lebih baik, serta meyakinkan diri sendiri bahwa
harapan selalu ada. Go le man, men gatakan bahwa
orang yang optimis
menganggap bahwa kegagalan
itu disebabkan oleh sesuatu yang dapat diubah sehingga mereka merencanakan dan
mengusahakan suatu tindakan
yang dapat memberikan
keberhasilan di masa-masa
me ndatang; sedangkan orang yang
pesimis mengang gap bahwa
kegagalan itu disebabkan oleh
kesalahannya sendiri yang berasal dari pembawaan yang tidak
dapat diubah, sehingga
mereka menjadi putus asa dan
tentu saja tidak bisa meraih keberhasilan di masa mendatang .
5.
Mengenali
emosi orang lain,
yaitu kita
berusaha mengerti dan mera sakan kebutuhan orang lain
(berempati) sehingga
orang lain merasa
senang dan
dimengerti perasaannya. Hal
ini bisa dilakukan dengan
cara berusaha memahami
bahasa nonverbal (bahasa
tubuh) oran g lain
yang mengandung
muatan emosi tertentu dan berusaha memahami
mengapa
orang lain menunjukkan emosi tersebut.
Dengan demikian, kita akan dapat memberikan respons yang
tepat, dan pada akhirnya
kita akan disukai orang lain.
6.
Membina hubungan
sosial (bergaul). Keterampilan
membina hubungan sosial
akan menunjang popularitas, kepemimpinan, dan
keberhasilan hubungan antar pribadi, sehingga akan menunjang keberhasilan dalam bidang apapun yang mengandalkan hubungan yang
serasi dengan orang lain.
Untuk membina
hubungan, seseorang harus
belajar mendeteksi dan
memahami perasaan, harapan, bahkan
keprihatina n orang lain.
Pemahaman akan perasaan
orang lain akan
membawa pada kebersamaan dan
keakraban yang menyenangkan, tetap itu
tidak berarti bahwa
kita lalu mati-matian mencocokkan diri p ada seseorang dengan
mengabaikan perasaan kita sendiri.
7.
Merasakan kebahagiaan. Cara yang
bisa dilakukan diantaranya
adalah melihat hal-hal
positif yang dimiliki sehingga dapat menerima
dan menikmatinya, baik saat sendiri maupun bersama orang lain,
melakukan kegiatan
yang membuat diri
kita merasa berguna
(misalnya membantu orang lain
yang sedang kesulitan),
melakukan humor, istirahat dan
makan yang cukup, berolahraga
atau berekreasi, melakukan hobi kita.
Cara
Mengembangkan Kecerdasan
Spiritual
Beberapa
usaha yang bisa
kita lakukan untuk mengembangkan
kecerdasan spiritual adalah:
1.
Melakukan introspeksi/refleksi
diri tentang nilai-nilai/keyakinan yang
kita anut,
2.
Mengikuti suara hati (dorongan hati nurani),
3.
Mencoba melaksanakan perilaku-perilaku
yang sejalan dengan sifat Tuhan
(bagi yang beragama Islam, sifat
Tuhan terkandung dalam
Asma’u l Husna). Dengan
melak sanakannya, maka God
Spot kita
akan berfungsi, artin ya
kebutuhan kita secara
spiritual akan terpenuhi.
Mak in be
rfungsi God spot
kita me nunjukkan makin cerdas
spiritual kita dan makin terpenuhi pula
ketenangan batin kita.
Ada beberapa hal yang dapat menghambat
berkembangnya kecerdasan spiritual dalam diri sesorang, yaitu
a.
Adanya ketidakseimbangan yang dinamis antara id, ego dan
superego, ketidakseimbangan antara ego sadar yang
rasional dan tuntutan dari alam tak sadar secara umum
b. Adanya orang tua yang tidak cukup menyayangi
c. Mengharapkan terlalu banyak
d.
Adanya ajaran yang mengajarkan menekan insting
e.
Adanya aturan moral yang menekan insting alamiah
f.
Adanya luka jiwa, yaitu jiwa yang menggambarkan
pengalaman menyangkut perasaan terasing dan tidak berharga
Lima karakteristik orang yang cerdas secara spiritual
menurut Roberts A. Emmons, The Psychology of Ultimate Concerns:
(1)
kemampuan untuk mentransendensikan yang fisik dan material;
(2)
kemampuan untuk mengalami tingkat kesadaran yang memuncak;
(3)
kemampuan untuk mensakralkan pengalaman sehari-hari;
(4) kemampuan
untuk menggunakan sumber-sumber spiritual buat menyelesaikan masalah; dan
kemampuan untuk berbuat baik.
Dua karakteristik yang pertama sering disebut sebagai
komponen inti kecerdasan spiritual. perawat yang merasakan kehadiran Tuhan atau
makhluk ruhaniyah di sekitarnya mengalami transendensi fisikal dan material. Ia
memasuki dunia spiritual. Ia mencapai kesadaran kosmis yang menggabungkan dia
dengan seluruh alam semesta. Ia merasa bahwa alamnya tidak terbatas pada apa
yang disaksikan dengan alat-alat indrianya. Sebagai contoh perawat menyampaikan
doa-doa personalnya dalam salat malamnya, mendoakan kesembuhan luka kliennya,
memuali tindakan dengan bismillah, mengisi waktu luang dengan Sholat dluha,
silaturahmi dengan keluarga klien. Ciri yang ketiga, terjadi ketika kita
meletakkan pekerjaan biasa dalam tujuan yang agung.
IV.
ANALISIS
Dari
berbagai hasil penelitian telah banyak terbukti bahwa kecerdasan emosi memiliki
peran yang jauh lebih penting dibandingkan dengan kecerdasan intelektual (IQ).
Kecerdasan otak barulah merupakan syarat minimal untuk meraih keberhasilan,
kecerdasan emosilah yang sesungguhnya mengantarkan seseorang menuju puncak
puncak prestasi bukan IQ. Terbukti banyaknya orang-orang yang memiliki
kecerdasan intelek tinggi, tetapi terpuruk ditengah persaingan.
Sebaliknya
banyak yang memiliki intelektual biasa-biasa saja justru sukses, dan
pemimpin-pemimpin diberbagai kelompok. Namun seringkali pula, kekosongan batin
muncul disela-sela puncak prestasi yang diraihnya. Setelah prestasi telah
dipijaknya, setelah semua pemuasan kebendaan diraihnya, ia terpuruk dalam
kekosongan batin yang amat sangat. Ai tidak tahu lagi kemana seharunsnya
melangkah, untuk tujuan apa semua itu dilakukan . disinilah ESQ berperan, ESQ
sebagai sebuah metode dan konsep yang jelas dan pasti adalah jawaban dari
kekosongan batin tersebut.
V. KESIMPULAN
Kecerdasan emosional : kemampuan seperti kemampuan
untuk memotivasi diri
sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress
tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.
Pusat dari EQ adalah “qalbu” . Hati
mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubah sesuatu yang dipikirkan
menjadi sesuatu yang dijalani. Hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat
diketahui oleh otak. Hati adalah sumber keberanian dan semangat , integritas
dan komitmen. Hati merupakan sumber energi dan perasaan terdalam yang memberi
dorongan untuk belajar, menciptakan kerja sama, memimpin dan melayani.
Kecerdasan spiritual atau yang biasa dikenal dengan
SQ (bahasa
Inggris: spiritual quotient) adalah kecerdasan
jiwa yang membantu
seseorang untuk mengembangkan dirinya secara utuh melalui
penciptaan kemungkinan untuk menerapkan nilai-nilai positif.
Kecerdasan spiritual atau spiritual intelligence atau
spiritual quotient (SQ) ialah suatu intelegensi atau suatu kecerdasan dimana
kita berusaha menyelesaikan masalah-masalah hidup ini berdasarkan
nilai-nilai spiritual atau agama yang diyakini.
Kecerdasan spiritual ialah suatu kecerdasan di mana kita berusaha menempatkan
tindakan-tindakan dan kehidupan kita ke dalam suatu konteks yang lebih luas dan
lebih kaya, serta lebih bermakna. Kecerdasan spiritual merupakan dasar yang
perlu untuk mendorong berfungsinya secara lebih efektif, baik Intelligence
Quotient (IQ) maupun Emotional Intelligence (EI). Jadi, kecerdasan spiritual
berkaitan dengan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
Peran SQ adalah sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Nggermanto
mengatakan bahwa sesorang yang memiliki SQ tinggi adalah orang yang memiliki prinsip dan visi
yang kuat, mampu memaknai setiap sisi kehidupan
serta mampu mengelola dan bertahan
dalam kesulitan dan kesakitan.
Manusia
menurut konsep ESQ adalah makhluk spiritual murni, yaitu makhluk yang ditiupkan ruh-ruh spiritual ke dalam tubuh
manusia. Sifat-sifat tersebut kemudian dipadukan ke dalam materi konkret berupa
tubuh atau jasad manusia yang terbuat dari tanah
Kecerdasan-kecerdasan
itulah yang menjadikan jiwa manusia seimbang dan menjadikannya berfikir logis
dan obyektif, bahkan memiliki kesehatan dan keseimbangan tubuh. Karena, siapa
yang berfungsi dengan baik kecerdasan emosi dan spiritualnya, maka
akan selamat pula anggota badannya dari segala kejahatan dan selamat pula
hatinya dari segala maksud buruk.
VI.
PENUTUP
Demikianlah
makalah yang
didapat kami susun, apabila ada kekurangan atau kesalahan kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membaangun. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi kita semua.Amin.....
DAFTAR PUSTAKA
Agus Nggermanto, Quantum
Quotient (Kecerdasan Quantum) : Cara Tepat Melejitkan
IQ, EQ, dan SQ Secara Harmonis, Nuansa, Bandung, 2002.
Ary Ginanjar
Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi
dan Spiritual (ESQ), Arga Wijaya Persada, Jakarta, 2001.
Maria Sumediyani, , Kecerdasan Spiritual dan Problema Bangsa Ini www.google.com , 2002, diunduh 12 Juni 2009
Peranan IQ, EQ, dan
ESQ dalam membenahi kualitas dunia pendidikan, Mei 30, 2009
Mengembangkan
Kecerdasan Spiritual Anak. Sumber : Jalaluddin Rakhmat
M. Berman, Developing SQ
(Spiritual Intelligence) Throught ELT,
Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (ESQ), Arga Wijaya Persada, Jakarta, 2001, hal. 57
Agus Nggermanto, Quantum Quotient (Kecerdasan Quantum) : Cara Tepat Melejitkan IQ, EQ, dan SQ Secara Harmonis, Nuansa, Bandung, 2002, hal.123
Maria Sumediyani, , Kecerdasan Spiritual dan Problema Bangsa Ini www.google.com, 2002, diunduh 12 Juni 2009
Jalaluddin
Rakhmat, Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak. Diunduh dari
Mengembangkan
Kecerdasan Spiritual Anak. Sumber : Jalaluddin Rakhmat
Agus Nggermanto, Quantum Quotient (Kecerdasan Quantum) : Cara Tepat Melejitkan IQ, EQ, dan SQ Secara Harmonis, Nuansa, Bandung, 2002, hal.123