Kamis, 07 Juni 2012

ADOPSI


ADOPSI
(PENGANGKATAN ANAK)
DALAM PANDANGAN HUKUM ISLAM

A.    LATAR BELAKANG
Agama Islam diturukan dimuka bumi sebagai rahmatan lil’alami. sebagai rahmat bagi seluruh alam. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur mencakup seluruh aspek kehidupan baik politik, hukum, sosial dan budaya, serta masalah pengangkatan anak, orang Islam dapat mengaurangi kehidupan dan memecahkan setiap problem dalam kehidupan.
Keinginan untuk menpunyai anak adalah naluri manusiawi dan alami akan tetapi kadang-kadang naluri ini terbentur pada takdir illahi, di mana kehendak mempunyai anak tidak tercapai. Akan tetapi semua kuasa ada di tangan Tuhan.
 Apapun yang mereka usahakan apabila Tuhan tidak menghendaki, maka keinginan merekapun tidak akan terpenuhi, hingga jalan terakhir semua usaha tidak membawa hasil, maka diambil jalan dengan pengangkatan anak (adopsi).
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengemukakan tentang salah satu persoalan kebutuhan manusia, yakni khusus aspek pengangkatan anak dan pewarisan anak angkat, dari berbagai macam cara pengangkatan anak. Sebagai suatu gambaran, bahwa pengangkatan anak semakin bertambah di masyarakat kita saat-saat ini dalam hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak, sedang yang ada hanya di perbolehkan atau suruhan untuk memelihara dengan tujuan memperlakukan anak dalam segi kecintaan pemberian nafkah, pendidikan atau pelayanan dalam segala kebutuhan yang bukan memperlakukan sebagai anak kandung (nasab).




B.     METODOLOGI
a.       Pengertian Pengangkatan Anak
Istilah “Pengangkatan Anak” berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari bahasa Inggris “Adoption”,[1] yang berarti Mengangkat seorang anak, anak orang lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung”.[2] Pada saat Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat Arab (zaman Jahiliyyah) lembaga pengangkatan anak telah menjadi tradisi, dengan istilah Tabanni التبنى “ yang berarti “mengambil anak angkat”[3].
Dalam kajian hukum Islam, Mahmud Syaltut, mengemukakan ada dua pengertian “pengangkatan anak”. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih saying, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya. Cuma ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya itu.[4] Pengartian yang pertama itulah konsepsi definitif yang dikembangkan hukum Islam, sedangkan pengertian kedua ialah konsepsi adopsi Arab Jahiliyyah atau Konsepsi Staatsblad 129/1917 yang telah dibatalkan oleh al Ahzab ayat 5 tersebut.
b.      Motivasi Pengangkatan Anak
Dalam praktiknya, pengangkatan anak di kalangan masyarakat Indonesia mempunyai beberapa tujuan dan atau motivasinya. Tujuannya antara lain adalah untuk meneruskan keturunan, apabila dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Motivasi ini sangat kuat terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak mungkin melahirkan anak, padahal mereka sangat mendambakan kehadiran anak dalam pelukannya di tengah-tengah keluarganya.
Praktik pengangkatan anak dengan motivasi komersial, perdagangan, sekedar untuk pancingan dan setelah memperoleh anak, kemudian anak angkat disia-siakan atau diterlantarkan, sangat bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak. Oleh karena itu, pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan pertolongan dan perlinduingan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik dan lebih maslahat.
Harus disadari bahwa pengangkatan yang sesuai dengan budaya dan akidah masyarakat Indonesia tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Hal sensitive yang juga harus disadari oleh calon orang tua angkat dan orang tua kandung adalah bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, hal ini penting diperhatikan oleh karena pengaruh agama orang tua angkat terhadap anak angkatnya, jika hal ini terjadi maka akan sangat melukai hati dan nurani serta akidah orang tua kandung anak angkat itu.
Di atas telah diuraikan bahwa hubungan  nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus oleh lembaga pengangkatan anak, dan orang tua kandung tetap memiliki hak untuk menjalankan hak dan kewajibannya sebagai orang tua kandung, oleh karena itu orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya, dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan anak yang bersangkutan.
c.       Pengangkatan Anak Menurut Hukum Islam
Para ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukum Islam tidak mengakui lembaga pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum seperti yang pernah dipraktekkan masyarakat jahiliyyah; dalam arti terlepasnya ia dari hukum kekerabatan orang tua kandungnya dan masuknya ia ke dalam hukum kekerabatan orang tua angkatnya. Hukum Islam hanya mengakui, bahkan menganjurkan, pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak; dalam artian status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa. Ia tetap anak dan kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat hukumnya.[5]
 Aspek hukum menashabkan anak angkat kepada orang tua angkatnya, atau yang memutuskan hubungan nasab dengan orang tuanya lalu dimasukkan anak angkat ke dalam klian nasab orang tua angkatnya, adalah yang paling mendapat kritikan dan penilaian merah dari Islam, karena sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, juga oleh Imam Bukhori, Rasulullah pernah menyatakan bahwa :
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ اِلاَّ كَفَرَ وَمَنْ ادَّعَى قَوْمًا لَيْسَ لَهُ فِيْهِمْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya :Tidak seorangpun yang mengakui (membanggakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan barang siapa bukan dari kalangan kami (kalangan kaum muslimin), dan hendaklah dia menyiapkan sendiri tempatnya dalam api neraka.[6]
Al-Imam Al-Lausi juga menyatakan bahwa haram hukumnya bagi orang yang dengan sengaja menisbahkan ayah kepada orang yang bukan ayanya, sebagaimana yang terjadi dan dilakukan oleh masyarakat jahiliyyah. Adapun apabila seseorang memanggil seorang anak dengan panggilan anakku “ibni” yang menunukkan kasih sayangnya seseorang anak yang dipanggil tersebut, maka hal ini tidak diharamakan.[7]
Unsur kesengajaan menasabkan seseorang kepada seorang ayah yang buykan ayahnya padahal ia mengetahui ayahnya yang sebenarnya, adalah penyebab haramnya perbuatan tersebut, dan hal demikian itu terjadi dalam lembaga pengangkatan anak (Tabanni) dalam pengertian tidak terbatas.
Dalam salah satu hadisnya Rasulullah SAW bahkan mengajarkan pelakunya sebagai kufur:
saw2[1]عَنْ اَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ           يَقُوْلُ لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ اِلاَّ كَفَرَ  
Artinya :            Dari Abu Dzar r.a. Bahwasannya ia mendengar Rasulullah SAW. Bersabda: “tidak seorangpun mengakui (membanggakan diri) kepada orang yang bukan bapak yang sebenarnya, sedangkan ia mengetahui benar bahwa orang itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur.[8]
AL-Imam An-Nawawi mengatakan bahwa kafir yang dimaksud dalam hadits tersebut, ada dua penafsiran, yaitu : kafir bagi yang menghalalkan secara sengaja dan terang-terangan hal tersebut; dan kufur ni’mat dan kebaikan, atas hak Allah dan hak ayah kandung anak angkat. Jadi maksudnya bukan kafir ynag dapat mengeluarkan seseorang dari agama Islam.[9]
Ibnu Hajara Al-Asqalani, mengatakan sebagian ulama berpendapat bahwa sebab-sebab dinisbahkan seseorang kepada kekafiran karena ia telah berbohong kepada Allah SWT, seakan-akan ia mengatakan bahwa ia telah diciptakan dari hasil sperma fulan, padahal bukan begitu. Oleh karena itu, hukum kafir dalam hadits tersebut bukan kafir hakiki yang dapat mengekalkan seseorang di neraka.[10]
Ahmad Al-Bari, mengatakan bahwa “Mengambil, dan merawat anak yang terlantar tanpa harus memutus nasab orang tua kandungnya adalah wajib hukumnya yang menjadi tanggungjawab masyarakat secara kolektif, atau dilaksanakan oleh beberapa orang sebagai kewajiban kifayah. Tetapi hukum dapat berubah jadi Fardlu ‘Ain apabila seseorang menemukan anak terlantar atau anak terbuang di tempat yang sangat membahayakan atau nyawa anak itu.[11] 
 Sedangkan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam praktek pengadilan agama, berdasarkan pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia Inpres No I Tahun 1991 tangal 10 Juni 1991, menetapkan bahwa anak angkat ialah yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sendiri, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asli kepada orang tua angkat berdasarkan keputusan pengadilan

Di dalam hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak secara mutlak, berdasarkan Al Qur’an surat Al Ahzab 4 & 5 dan 40 dan berdasarkan Hadist Rasulullah SAW, “Barang siapa yang mendakwakan dirinya sebagai anak dari seorang bukan ayahnya, maka kepadanya ditimpa laknat dan para malaikat dan manusia seluruhnya. Dan kelak pada hari kiamat, akan tidak diterima amalan-amalannya, baik yang wajib maupun yang sunnat”(HR Bukhari)

Sedangkan menurut hukum Islam anak angkat tidak berhak mewarisi harta orang tua angkatnya. Hubungan keharta bendaan antara anak yang di angkat dengan orang tua mengangkat dianjurkan dalam bentuk wasiat atau hibah, yang besarnya maximal sepertiga dari harta yang ada, Wasiat[12] itu wajib (berdasarkan surat Al Baqarah ayat 180
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ  
Artinya :  diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf[112][13], (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.[14]

Dan surat Al Maa’idah 106).
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä äoy»pky­ öNä3ÏZ÷t/ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# tûüÏm Ïp§Ï¹uqø9$# Èb$uZøO$# #ursŒ 5Aôtã öNä3ZÏiB ÷rr& Èb#tyz#uä ô`ÏB öNä.ÎŽöxî ÷bÎ) óOçFRr& ÷Läêö/uŽŸÑ Îû ÇÚöF{$# Nä3÷Gt6»|¹r'sù èpt6ŠÅÁB ÏNöqyJø9$# 4 $yJßgtRqÝ¡Î;øtrB .`ÏB Ï÷èt/ Ío4qn=¢Á9$# Èb$yJÅ¡ø)ãŠsù «!$$Î/ ÈbÎ) óOçGö6s?ö$# Ÿw ÎŽtIô±tR ¾ÏmÎ/ $YYyJrO öqs9ur tb%x. #sŒ 4n1öè%   Ÿwur ÞOçFõ3tR noy»pky­ «!$# !$¯RÎ) #]ŒÎ) z`ÏJ©9 tûüÏJÏOFy$# ÇÊÉÏÈ  

Artinya:  Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu[454][15], jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia karib kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk orang-orang yang berdosa".[16]
Sedangkan, hukum Islam tidak ada putus hubungan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya, dengan adanya perbedaan ini sebenarnya adopsi sebagai salah satu upaya untuk kesejahteraan anak. Meskipun kesimpulan ini bersifat sementara, namun penulis menganggap bahwa sangat penting untuk di perhatikan bagi pemerhati masalah pengangkatan anak dan pewarisan anak angkat, Penulis menyarankan agar dalam pengangkatan anak diarahkan kepada kepentingan kesejahteraan anak, dan dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan secara wajar baik.
Islam juga melarang tawàruts (saling mewarisi) antara anak dan ayah angkat. Ketika Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala me-naskh hukum legalisasi anak angkat maka Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala membolehkan untuk menikahi istri anak angkat atau sebaliknya. Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala telah menikahkan Rasululloh dengan Zainab binti Jahsy Al ‘Asadiyyah bekas istri Zaid bin Hàritsah. Dengan tujuan -wallàhu ‘a`lam- supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk (mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya (setelah talak dan habis ‘iddahnya). Sebagaimana firman Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala:
øŒÎ)ur ãAqà)s? üÏ%©#Ï9 zNyè÷Rr& ª!$# Ïmøn=tã |MôJyè÷Rr&ur Ïmøn=tã ô7Å¡øBr& y7øn=tã y7y_÷ry È,¨?$#ur ©!$# Å"øƒéBur Îû šÅ¡øÿtR $tB ª!$# ÏmƒÏö7ãB Óy´øƒrBur }¨$¨Z9$# ª!$#ur ,ymr& br& çm9t±øƒrB ( $£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷ƒy $pk÷]ÏiB #\sÛur $ygs3»oYô_¨ry ös5Ï9 Ÿw tbqä3tƒ n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# Óltym þÎû Ælºurør& öNÎgͬ!$uÏã÷Šr& #sŒÎ) (#öqŸÒs% £`åk÷]ÏB #\sÛur 4 šc%x.ur ãøBr& «!$# ZwqãèøÿtB ÇÌÐÈ  
Artinya : Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya* dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.

*Yang dimaksud dengan orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi Muhammadpun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi anak. ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh mengawini bekas isteri anak angkatnya.






Menasabkan silsilah keturunan bapak angkat kepada anak angkat adalah sebuah kedustaan, mencampurbaurkan nasab (silsilah keturunan), merubah hak-hak pewarisan yang menyebabkan memberikan warisan kepada yang tidak berhak dan menghilangkan hak waris bagi yang berhak. Menghalalkan yang haram: yaitu ber-khalwat (berkumpulnya mahram dengan yang bukan). Dan mengharamkan yang halal: yaitu menikah. Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam seseorang menasabkan keturunan kepada yang bukan sebenarnya, yang artinya: “Barangsiapa yang dengan sengaja mengakui (sebagai ayah) seorang yang bukan ayahnya sedang ia mengetahui, maka Surga haram buatnya” (HR: Al Bukhàri dan Muslim)
C.     KESIMPULAN
1.      Pengangkatan anak angkat.
a.         Pengangkatan anak tidak memutuskan atau merubah nasab antara anak angkat dengan orang tua asal, sehingga anak tersebut tetap dinasabkan dengan orang tua kandungnya.
b.      Pengangkatan anak dalam Islam sebenarnya hanya peralihan tanggungjawab biaya hidup, pendidikan, bimbingan agama dan lain-lain dari ornag tua asal kepada orang tua angkat, tetapi tidak memutus hubungan hukum atau nasab dengan kedua orang tuanya
c.       Antara anak angkat dengan orang tua angkat terdapat hubungan keperdataan wasiah wajibah
d.      Untuk pengangkatan anak diperlukan persetujuan orang tua asal, wali atau badan hukum yang menguasa anak yang akan diangkat
e.       Pengangkatan anak yang orang tuanya beragama Islam hanya dapat dilakukan oleh orang yang beragama Islam.
2.      Status Anak Angkat
a.       Anak angkat tidak terputus dengan nasab orang tua kandungnya, yang beralih hanyalah tanggungjawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat.
b.      Anak angkat dipanggil bin atau binti dengan nama ayah atau orang tua kandungnya.
c.       Orang tua angakt tidak sah menjadi wali nikah anak angkatnya, jika anak angkat perempuan.
d.      Anak angkat tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Anak angkat dapat memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya melalui lembaga wasiat wajibah yang jumlahnya tidak boleh melebihi sepertiga dari harta warisan.




D.      REFERENSI
·         Al Qur’an, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1990
·        Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul al-Bary, (Kairo : Al-Maktabah Al-Salafiyah, tt
·         Huzaemah T. Yanggo, “Masail Fiqhiyah; Kajian Hukum Islam Kontemporer”, Angkasa, Bandung, 2005.
·         Drs. Masjfuk Zuhdi, “Masail Fiqhiyah” PT Toko Gunung Agung, Jakarta, Cet. 10
·         John M., Echols, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2000
·         Simorangkir, JCT, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1987
·         Nasroen Harun, dkk, Eksiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1996, Jilid I,
·         Drs. Taufik Rahman, M.Ag. “Hadits-Hadits Hukum”, CV Pustaka Setia, Bandung, 2000.
·        Zakariya Ahmad Al-Bari, Akhkam al-Aulad fi al-Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977



[1] John M., Echols, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2000, hlm. 13.
[2] Simorangkir, JCT, Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm. 4
[3] Drs. Masjfuk Zuhdi, “Masail Fiqhiyah” PT Toko Gunung Agung, Jakarta, Cet. 10, hlm. 97.
[4] Nasroen Harun, dkk, Eksiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1996, Jilid I, hlm. 29-30.
[5] Huzaemah T. Yanggo, “Masail Fiqhiyah; Kajian Hukum Islam Kontemporer”, Angkasa, Bandung, 2005. hlm. 115
[6] H.R. Bukhari-Muslim, dari Abu Dzar r.a, bahwasannya Rasulullah SAW pernah bersabda.
[7] AL-Lausi, Ruh Al-Ma’ani, (Beirut : Dar Al-Fikr, tt), Jilid 21, hlm. 149.
[8] Drs. Taufik Rahman, M.Ag. “Hadits-Hadits Hukum”, CV Pustaka Setia, Bandung, 2000, hlm. 53.
[9] Ibid.
[10] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul al-Bary, (Kairo : Al-Maktabah Al-Salafiyah, tt), Jilid 12, hlm. 56.
[11] Zakariya Ahmad Al-Bari, Akhkam al-Aulad fi al-Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 35.
[12] Wasiat : pemberian untuk dimiliki oleh orang yang diberi sesudah pemberiannya mati
[13] [112] Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
[14] Al Qur’an, Surat al Baqarah ayat 180, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1990,  hlm. 28.
[15] [454] Ialah: mengambil orang lain yang tidak seagama dengan kamu sebagai saksi dibolehkan, bila tidak ada orang Islam yang akan dijadikan saksi.
[16] Al Qur’an, Surat al Maaidah ayat 106, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1990, hlm. 125

Tidak ada komentar:

Posting Komentar