ADOPSI
(PENGANGKATAN
ANAK)
DALAM
PANDANGAN HUKUM ISLAM
A.
LATAR
BELAKANG
Agama Islam diturukan dimuka bumi
sebagai rahmatan lil’alami. sebagai rahmat bagi seluruh alam. Islam tidak hanya
mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur mencakup seluruh
aspek kehidupan baik politik, hukum, sosial dan budaya, serta masalah
pengangkatan anak, orang Islam dapat mengaurangi kehidupan dan memecahkan
setiap problem dalam kehidupan.
Keinginan untuk menpunyai anak
adalah naluri manusiawi dan alami akan tetapi kadang-kadang naluri ini
terbentur pada takdir illahi, di mana kehendak mempunyai anak tidak tercapai.
Akan tetapi semua kuasa ada di tangan Tuhan.
Apapun yang mereka usahakan apabila Tuhan
tidak menghendaki, maka keinginan merekapun tidak akan terpenuhi, hingga jalan
terakhir semua usaha tidak membawa hasil, maka diambil jalan dengan
pengangkatan anak (adopsi).
Dalam kesempatan ini penulis ingin
mengemukakan tentang salah satu persoalan kebutuhan manusia, yakni khusus aspek
pengangkatan anak dan pewarisan anak angkat, dari berbagai macam cara
pengangkatan anak. Sebagai suatu gambaran, bahwa pengangkatan anak semakin
bertambah di masyarakat kita saat-saat ini dalam hukum Islam tidak mengenal
pengangkatan anak dalam arti menjadi anak kandung secara mutlak, sedang yang
ada hanya di perbolehkan atau suruhan untuk memelihara dengan tujuan
memperlakukan anak dalam segi kecintaan pemberian nafkah, pendidikan atau
pelayanan dalam segala kebutuhan yang bukan memperlakukan sebagai anak kandung
(nasab).
B. METODOLOGI
a.
Pengertian
Pengangkatan Anak
Istilah “Pengangkatan Anak”
berkembang di Indonesia sebagai terjemahan dari bahasa Inggris “Adoption”,[1]
yang berarti Mengangkat seorang anak, anak orang lain untuk dijadikan sebagai
anak sendiri dan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung”.[2]
Pada saat Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat Arab
(zaman Jahiliyyah) lembaga pengangkatan anak telah menjadi tradisi, dengan
istilah Tabanni “التبنى “ yang berarti
“mengambil anak angkat”[3].
Dalam kajian hukum Islam, Mahmud
Syaltut, mengemukakan ada dua pengertian “pengangkatan anak”. Pertama, mengambil
anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih
saying, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya. Cuma ia diperlakukan
oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak
orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”,
sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling
mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak
angkat dan orang tua angkatnya itu.[4]
Pengartian yang pertama itulah konsepsi definitif yang dikembangkan hukum
Islam, sedangkan pengertian kedua ialah konsepsi adopsi Arab Jahiliyyah atau
Konsepsi Staatsblad 129/1917 yang telah dibatalkan oleh al Ahzab ayat 5
tersebut.
b.
Motivasi
Pengangkatan Anak
Dalam praktiknya, pengangkatan anak
di kalangan masyarakat Indonesia mempunyai beberapa tujuan dan atau
motivasinya. Tujuannya antara lain adalah untuk meneruskan keturunan, apabila
dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan. Motivasi ini sangat kuat
terhadap pasangan suami istri yang telah divonis tidak mungkin melahirkan anak,
padahal mereka sangat mendambakan kehadiran anak dalam pelukannya di
tengah-tengah keluarganya.
Praktik pengangkatan anak dengan
motivasi komersial, perdagangan, sekedar untuk pancingan dan setelah memperoleh
anak, kemudian anak angkat disia-siakan atau diterlantarkan, sangat
bertentangan dengan hak-hak yang melekat pada anak. Oleh karena itu,
pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk memberikan
pertolongan dan perlinduingan sehingga masa depan anak angkat akan lebih baik
dan lebih maslahat.
Harus disadari bahwa pengangkatan
yang sesuai dengan budaya dan akidah masyarakat Indonesia tidak memutuskan
hubungan darah antara anak angkat yang diangkat dengan orang tua kandungnya.
Hal sensitive yang juga harus disadari oleh calon orang tua angkat dan orang
tua kandung adalah bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang
dianut oleh calon anak angkat, hal ini penting diperhatikan oleh karena
pengaruh agama orang tua angkat terhadap anak angkatnya, jika hal ini terjadi
maka akan sangat melukai hati dan nurani serta akidah orang tua kandung anak
angkat itu.
Di atas telah
diuraikan bahwa hubungan nasab anak
angkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus oleh lembaga pengangkatan
anak, dan orang tua kandung tetap memiliki hak untuk menjalankan hak dan
kewajibannya sebagai orang tua kandung, oleh karena itu orang tua angkat wajib
memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya.
Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya, dilakukan dengan
mempertimbangkan kesiapan anak yang bersangkutan.
c.
Pengangkatan
Anak Menurut Hukum Islam
Para ulama fikih sepakat menyatakan
bahwa hukum Islam tidak mengakui lembaga pengangkatan anak yang mempunyai
akibat hukum seperti yang pernah dipraktekkan masyarakat jahiliyyah; dalam arti
terlepasnya ia dari hukum kekerabatan orang tua kandungnya dan masuknya ia ke
dalam hukum kekerabatan orang tua angkatnya. Hukum Islam hanya mengakui, bahkan
menganjurkan, pengangkatan anak dalam arti pemungutan dan pemeliharaan anak;
dalam artian status kekerabatannya tetap berada di luar lingkungan keluarga
orang tua angkatnya dan dengan sendirinya tidak mempunyai akibat hukum apa-apa.
Ia tetap anak dan kerabat orang tua kandungnya, berikut dengan segala akibat
hukumnya.[5]
Aspek hukum menashabkan anak angkat kepada
orang tua angkatnya, atau yang memutuskan hubungan nasab dengan orang tuanya
lalu dimasukkan anak angkat ke dalam klian nasab orang tua angkatnya, adalah
yang paling mendapat kritikan dan penilaian merah dari Islam, karena sangat
bertentangan dengan ajaran Islam. Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim,
juga oleh Imam Bukhori, Rasulullah pernah menyatakan bahwa :
لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ
يَعْلَمُهُ اِلاَّ كَفَرَ وَمَنْ ادَّعَى قَوْمًا لَيْسَ لَهُ فِيْهِمْ فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya :Tidak
seorangpun yang mengakui (membanggakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya,
sedang ia mengetahui bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan
barang siapa bukan dari kalangan kami (kalangan kaum muslimin), dan hendaklah
dia menyiapkan sendiri tempatnya dalam api neraka.[6]
Al-Imam Al-Lausi juga
menyatakan bahwa haram hukumnya bagi orang yang dengan sengaja menisbahkan
ayah kepada orang yang bukan ayanya, sebagaimana yang terjadi dan dilakukan
oleh masyarakat jahiliyyah. Adapun apabila seseorang memanggil seorang anak
dengan panggilan anakku “ibni” yang menunukkan kasih sayangnya seseorang
anak yang dipanggil tersebut, maka hal ini tidak diharamakan.[7]
Unsur kesengajaan
menasabkan seseorang kepada seorang ayah yang buykan ayahnya padahal ia
mengetahui ayahnya
yang sebenarnya, adalah penyebab haramnya perbuatan tersebut, dan hal demikian
itu terjadi dalam lembaga pengangkatan anak (Tabanni) dalam pengertian tidak
terbatas.
Dalam salah satu hadisnya
Rasulullah SAW bahkan mengajarkan pelakunya sebagai kufur:
![saw2[1]](file:///C:/Users/Najab/AppData/Local/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif)
Artinya
: Dari Abu Dzar r.a. Bahwasannya
ia mendengar Rasulullah SAW. Bersabda: “tidak seorangpun mengakui (membanggakan
diri) kepada orang yang bukan bapak yang sebenarnya, sedangkan ia mengetahui
benar bahwa orang itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur.[8]
AL-Imam
An-Nawawi mengatakan bahwa kafir yang dimaksud dalam hadits tersebut, ada dua penafsiran, yaitu : kafir bagi yang menghalalkan secara sengaja dan
terang-terangan hal tersebut; dan kufur ni’mat dan kebaikan, atas hak Allah dan
hak ayah kandung anak angkat. Jadi maksudnya bukan kafir ynag dapat
mengeluarkan seseorang dari agama Islam.[9]
Ibnu Hajara
Al-Asqalani, mengatakan sebagian ulama berpendapat bahwa sebab-sebab
dinisbahkan seseorang kepada kekafiran karena ia telah berbohong kepada Allah
SWT, seakan-akan ia mengatakan bahwa ia telah diciptakan dari hasil sperma
fulan, padahal bukan begitu. Oleh karena itu, hukum kafir dalam hadits tersebut
bukan kafir hakiki yang dapat mengekalkan seseorang di neraka.[10]
Ahmad Al-Bari,
mengatakan bahwa “Mengambil, dan merawat anak yang terlantar tanpa harus
memutus nasab orang tua kandungnya adalah wajib hukumnya yang menjadi
tanggungjawab masyarakat secara kolektif, atau dilaksanakan oleh beberapa orang
sebagai kewajiban kifayah. Tetapi hukum dapat berubah jadi Fardlu ‘Ain
apabila seseorang menemukan anak terlantar atau anak terbuang di tempat yang
sangat membahayakan atau nyawa anak itu.[11]
Sedangkan
penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam praktek pengadilan agama,
berdasarkan pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia
Inpres No I Tahun 1991 tangal 10 Juni 1991, menetapkan bahwa anak angkat ialah
yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sendiri, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asli kepada orang tua angkat
berdasarkan keputusan pengadilan
Di dalam hukum Islam tidak mengenal pengangkatan anak secara mutlak, berdasarkan Al Qur’an surat Al Ahzab 4 & 5 dan 40 dan berdasarkan Hadist Rasulullah SAW, “Barang siapa yang mendakwakan dirinya sebagai anak dari seorang bukan ayahnya, maka kepadanya ditimpa laknat dan para malaikat dan manusia seluruhnya. Dan kelak pada hari kiamat, akan tidak diterima amalan-amalannya, baik yang wajib maupun yang sunnat”(HR Bukhari)
Sedangkan menurut hukum Islam anak angkat tidak berhak mewarisi harta orang tua angkatnya. Hubungan keharta bendaan antara anak yang di angkat dengan orang tua mengangkat dianjurkan dalam bentuk wasiat atau hibah, yang besarnya maximal sepertiga dari harta yang ada, Wasiat[12] itu wajib (berdasarkan surat Al Baqarah ayat 180
|=ÏGä.
öNä3øn=tæ
#sÎ) u|Øym
ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts?
#·öyz èp§Ï¹uqø9$#
Ç`÷yÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $)ym n?tã tûüÉ)FßJø9$# ÇÊÑÉÈ
Artinya : diwajibkan atas kamu,
apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma'ruf[112][13],
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.[14]
Dan surat Al Maa’idah 106).
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä äoy»pky öNä3ÏZ÷t/ #sÎ) u|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# tûüÏm Ïp§Ï¹uqø9$# Èb$uZøO$# #urs 5Aôtã öNä3ZÏiB ÷rr& Èb#tyz#uä ô`ÏB öNä.Îöxî ÷bÎ) óOçFRr& ÷Läêö/uÑ Îû ÇÚöF{$# Nä3÷Gt6»|¹r'sù èpt6ÅÁB ÏNöqyJø9$# 4 $yJßgtRqÝ¡Î;øtrB .`ÏB Ï÷èt/ Ío4qn=¢Á9$# Èb$yJÅ¡ø)ãsù «!$$Î/ ÈbÎ) óOçGö6s?ö$# w ÎtIô±tR ¾ÏmÎ/ $YYyJrO öqs9ur tb%x. #s 4n1öè% wur ÞOçFõ3tR noy»pky «!$# !$¯RÎ) #]Î) z`ÏJ©9 tûüÏJÏOFy$# ÇÊÉÏÈ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila salah
seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah
(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang
yang berlainan agama dengan kamu[454][15], jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu kamu ditimpa bahaya
kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu
mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi
Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk
kepentingan seseorang), walaupun Dia karib kerabat, dan tidak (pula) Kami
Menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah
Termasuk orang-orang yang berdosa".[16]
Sedangkan, hukum Islam tidak ada
putus hubungan antara anak angkat dengan orang tua kandungnya, dengan adanya
perbedaan ini sebenarnya adopsi sebagai salah satu upaya untuk kesejahteraan
anak. Meskipun kesimpulan ini bersifat sementara, namun penulis menganggap
bahwa sangat penting untuk di perhatikan bagi pemerhati masalah pengangkatan
anak dan pewarisan anak angkat, Penulis menyarankan agar dalam pengangkatan
anak diarahkan kepada kepentingan kesejahteraan anak, dan dapat menjamin
pertumbuhan dan perkembangan secara wajar baik.
Islam juga
melarang tawàruts (saling mewarisi) antara anak dan ayah angkat. Ketika Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala me-naskh hukum legalisasi anak angkat maka Alloh Subhaanahu
Wa Ta’ala membolehkan untuk menikahi istri anak angkat atau sebaliknya.
Alloh Subhaanahu
Wa Ta’ala telah menikahkan Rasululloh dengan Zainab binti Jahsy Al
‘Asadiyyah bekas istri Zaid bin Hàritsah. Dengan tujuan -wallàhu
‘a`lam- supaya tidak ada keberatan bagi orang Mukmin untuk
(mengawini) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu
telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya (setelah talak dan habis
‘iddahnya).
Sebagaimana firman Alloh Subhaanahu
Wa Ta’ala:
øÎ)ur ãAqà)s? üÏ%©#Ï9 zNyè÷Rr& ª!$# Ïmøn=tã |MôJyè÷Rr&ur Ïmøn=tã ô7Å¡øBr& y7øn=tã y7y_÷ry È,¨?$#ur ©!$# Å"øéBur Îû Å¡øÿtR $tB ª!$# ÏmÏö7ãB Óy´ørBur }¨$¨Z9$# ª!$#ur ,ymr& br& çm9t±ørB ( $£Jn=sù 4Ó|Ós% Ó÷y $pk÷]ÏiB #\sÛur $ygs3»oYô_¨ry ös5Ï9 w tbqä3t n?tã tûüÏZÏB÷sßJø9$# Óltym þÎû Ælºurør& öNÎgͬ!$uÏã÷r& #sÎ) (#öqÒs% £`åk÷]ÏB #\sÛur 4 c%x.ur ãøBr& «!$# ZwqãèøÿtB ÇÌÐÈ
Artinya : Dan (ingatlah), ketika
kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan
kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: "Tahanlah terus isterimu dan
bertakwalah kepada Allah", sedang kamu Menyembunyikan di dalam hatimu apa
yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah
yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri
keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya
tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak
angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya
daripada isterinya* dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.
*Yang dimaksud dengan orang yang
Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya ialah Zaid bin Haritsah. Allah telah
melimpahkan nikmat kepadanya dengan memberi taufik masuk Islam. Nabi
Muhammadpun telah memberi nikmat kepadanya dengan memerdekakan kaumnya dan
mengangkatnya menjadi anak. ayat ini memberikan pengertian bahwa orang boleh
mengawini bekas isteri anak angkatnya.
Menasabkan silsilah keturunan bapak
angkat kepada anak angkat adalah sebuah kedustaan, mencampurbaurkan nasab
(silsilah keturunan), merubah hak-hak pewarisan yang menyebabkan memberikan
warisan kepada yang tidak berhak dan menghilangkan hak waris bagi yang berhak.
Menghalalkan yang haram: yaitu ber-khalwat (berkumpulnya mahram dengan yang
bukan). Dan mengharamkan yang halal: yaitu menikah. Rasululloh Shallallahu
‘alaihi wa sallam mengancam seseorang menasabkan keturunan kepada yang
bukan sebenarnya, yang artinya: “Barangsiapa yang dengan sengaja
mengakui (sebagai ayah) seorang yang bukan ayahnya sedang ia mengetahui, maka
Surga haram buatnya” (HR: Al Bukhàri dan Muslim)
C.
KESIMPULAN
1.
Pengangkatan anak angkat.
a.
Pengangkatan
anak tidak memutuskan atau merubah nasab antara anak angkat dengan orang tua
asal, sehingga anak tersebut tetap dinasabkan dengan orang tua kandungnya.
b.
Pengangkatan
anak dalam Islam sebenarnya hanya peralihan tanggungjawab biaya hidup, pendidikan,
bimbingan agama dan lain-lain dari ornag tua asal kepada orang tua angkat,
tetapi tidak memutus hubungan hukum atau nasab dengan kedua orang tuanya
c.
Antara
anak angkat dengan orang tua angkat terdapat hubungan keperdataan wasiah
wajibah
d.
Untuk
pengangkatan anak diperlukan persetujuan orang tua asal, wali atau badan hukum
yang menguasa anak yang akan diangkat
e.
Pengangkatan
anak yang orang tuanya beragama Islam hanya dapat dilakukan oleh orang yang
beragama Islam.
2.
Status
Anak Angkat
a.
Anak angkat
tidak terputus dengan nasab orang tua kandungnya, yang beralih hanyalah
tanggungjawab dari orang tua kandung kepada orang tua angkat.
b.
Anak
angkat dipanggil bin atau binti dengan nama ayah atau orang tua kandungnya.
c.
Orang tua
angakt tidak sah menjadi wali nikah anak angkatnya, jika anak angkat perempuan.
d.
Anak
angkat tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Anak angkat dapat
memperoleh harta warisan dari orang tua angkatnya melalui lembaga wasiat
wajibah yang jumlahnya tidak boleh melebihi sepertiga dari harta warisan.
D.
REFERENSI
·
Al Qur’an, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, Jakarta, 1990
·
Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul al-Bary, (Kairo
: Al-Maktabah Al-Salafiyah, tt
·
Huzaemah T. Yanggo, “Masail Fiqhiyah; Kajian Hukum
Islam Kontemporer”, Angkasa, Bandung, 2005.
·
Drs. Masjfuk Zuhdi, “Masail Fiqhiyah” PT Toko Gunung Agung,
Jakarta, Cet. 10
·
John M., Echols, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia,
Jakarta, 2000
·
Simorangkir, JCT, Kamus Hukum, Aksara
Baru, Jakarta, 1987
·
Nasroen Harun, dkk, Eksiklopedi Hukum Islam,
PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1996, Jilid I,
·
Drs. Taufik Rahman, M.Ag. “Hadits-Hadits
Hukum”, CV Pustaka Setia, Bandung, 2000.
·
Zakariya Ahmad Al-Bari, Akhkam
al-Aulad fi al-Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1977
[1] John M., Echols, Kamus Inggris
Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2000, hlm. 13.
[2] Simorangkir, JCT, Kamus Hukum, Aksara
Baru, Jakarta , 1987, hlm. 4
[3] Drs. Masjfuk Zuhdi, “Masail Fiqhiyah” PT Toko Gunung Agung,
Jakarta, Cet. 10, hlm. 97.
[4] Nasroen Harun, dkk, Eksiklopedi Hukum Islam, PT. Ichtiar
Baru van Hoeve, Jakarta, 1996, Jilid I, hlm. 29-30.
[5] Huzaemah T. Yanggo, “Masail Fiqhiyah; Kajian Hukum Islam
Kontemporer”, Angkasa, Bandung, 2005. hlm. 115
[6] H.R. Bukhari-Muslim, dari Abu Dzar r.a, bahwasannya Rasulullah SAW
pernah bersabda.
[9] Ibid.
[10] Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fathul al-Bary, (Kairo
: Al-Maktabah Al-Salafiyah, tt), Jilid 12, hlm. 56.
[11] Zakariya Ahmad Al-Bari, Akhkam al-Aulad fi al-Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1977), hlm. 35.
[12] Wasiat : pemberian untuk dimiliki oleh orang yang diberi
sesudah pemberiannya mati
[13] [112] Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga
dari seluruh harta orang yang akan meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan
ayat mewaris.
[14] Al Qur’an, Surat al Baqarah ayat 180, Yayasan Penyelenggara
Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen
Agama RI, Jakarta, 1990, hlm. 28.
[15] [454] Ialah: mengambil orang lain yang tidak seagama dengan
kamu sebagai saksi dibolehkan, bila tidak ada orang Islam yang akan dijadikan
saksi.
[16] Al Qur’an, Surat al Maaidah ayat 106, Yayasan Penyelenggara
Penerjemah Penafsiran Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen
Agama RI, Jakarta, 1990, hlm. 125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar