PEMIKIRAN IKHWAN Al-SHAFA
MAKALAH
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
kuliah: Filsafat Pendidikan Islam
Dosen
Pengampu: Nur Said, MA, M.Ag

Disusun
Oleh:
Eva Mustikawati :
110251
Najap Lestari :
110256
Wiwik Lisa Indriyani : 110
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) KUDUS
JURUSAN
TARBIYAH/PAI
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gerakan
Ikhwan Al-Shafa mengidentifikasi dirinya sebagai gerakan orang-orang yang
tertidur di Goa. Sifat gerakannya yang rahasia menyebabkan munculnya banyak
misteri dan kontroversi, bahkan terhadap karya besarnya yang dikenal dengan “Rasaa’il
Ikhwanus Shafa”. siapa yang menulis risalah tersebut? Hasil notulensi
setiap pembahasan atau inisiatif salah satu anggota? Juga apakah madzhab dari
gerakan ini? Sunni atau syiah? Jika sunni, apakah mereka mu’tazilah, sufi atau
yang lainnya? Atau jika syiah, apakah syiah 12 atau ismailiyah?[1]
Terlepas
dari beberapa kontroversi tersebut, satu hal yang disepakati oleh banyak
peneliti adalah bahwa Ikhwan Al-Shafa adalah pergerakan untuk menggali dan
mengkaji ilmu pengetahuan dan filsafat namun bukan untuk kepentingan ilmu
pengetahuan dan filsafat. Penggalian dan pengkajiannya disandarkan pada harapan
untuk membangun masyarakat spiritual etik di mana elit-elit muslim yang
heterogen dapat meredakan ketegangan (perselisihan) yang disebabkanoleh
pendekatan nasionalitas dan madzhab-madzhab yang ada. Orientasi untuk melakukan
harmonisasi antara filsafat dan agama tidak berarti sebuah upaya untuk
menghimpun kebenaran-kebenaran filosofis dengan kebenaran-kebenaran agama.
Mereka tidak menunjukkan penilaian yang berat sebelah kepada salah satunya
untuk kemudian sampai kepada sintesis yang menghimpun antara unsur-unsur yang
sama dan berkesesuaian sebagaimana di lakukan al-farabi dan ibnu sina. Namun
upaya mereka tak lebih dari menghindarkan pertentangan (raf’un niza’). Dalam
bahasa Adil Awa, mereka senantiasa berada di persimpangan jalan (fi
muntashaf at-thariq) antara iman dan akal, agama, dan filsafat.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah tersebut, maka
didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1) Bagaimana sejarah Ikhwan
Al-Shafa dan Risalahnya?
2) Bagaimana pemikiran Ikhwan
Al-Shafa terhadap pendidikan?
3) Bagaimana pandangan Ikhwan
Al-Shafa tentang agama dan filsafat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Ikhwan Al-Shafa dan Risalahnya
Dalam wikipedia disebutkan,
Ikhwan as-Shafa (اخوانالصفا) berarti persaudaraan kemurnian. Yaitu organisasi yang
aneh dan misterius yang terdiri dari para filsuf arab, yang berpusat di Basrah,
Irak yang saat itu merupakan ibukota kekhalifahan Abbasiyah di sekitar abad
ke-10 M. Kelompok yang lahir di Basrah kira-kira tahun 373H/983M ini, terkenal
denagn risalahnya, yang memuat doktrin-doktrin spiritual dan sistem filsafat
mereka. Nama lengkap kelompok mereka adalah Ikhwan Al-Shafa wa Khullan
al-Wafa wa Ahl al-Hamd wa Abna’ al-Majd. Ikhwan al-Shafa berhasil
merahasiakan nama mereka secara seksama. Namun ada anggota yang dapat diketahui
nama-nama mereka yaitu Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Masyar al-Basti dikenal
dengan nama al-Maqdisy, Abu al-Hasan Ali Ibnu Harun ad-Zanzany, Abu Ahmad
al-Mahrajani, Al-Qufy, Zaid Ibnu Rifa’ah.[2]
Karya monumental
Ikhwan al-Shafa adalah ensiklopedia Rasail Ikhwan al-Shafa. Rasail ini
terdiri dari 52 risalah yang masing-masing punya judul, dikelompokksn menjadi
empat bagian. Bagian pertama: empat belas risalah meliputi matematika,
seni dan logika. Bagian kedua: tujuh belas risalah meliputi ilmu alam
yang di dalamnya membicarakan tentang materi, bentuk, ruang, waktu dan gerak.
Kemudian membahas tentang langit, bintang-bintang, benda-benda tambang,
tumbuh-tumbuhan, hewan, manusia dan jiwa. Bagian ketiga: sepuluh risalah
meliputi pembahasan lanjutan tentang jiwa, arti hidup, mati, lezat dan derita
dan macam-macamnya, pembahasan tentang bahasa, sebab-sebab perbedaan bahasa,
membahas tentang tumbuh dan berkembang, hari berbangkit dan hari kiamat. Bagian
keempat: sebelas risalah meliputi pembahasan tentang ketuhanan dan
perkara-perkara yang berkaitan dengan agama-agama, syariat-syariat dan tasawuf.
B. Pemikiran Ikhwan al-Shafa
Tentang Pendidikan
Beberapa contoh pokok
pikiran mereka mengenai pendidikan dan pengajaran masih relevan dengan
pendidikan modern sekarang. Diantaranya adalah tujuan, kurikulum dan metode
pendidikan.
a. Mengenai tujuan pendidikan
mereka melihat bahwa tujuan pendidikan haruslah dikaitkan dengan keagamaan.
Tiap ilmu, kata mereka merupakan malapetaka bagi pemiliknya bila ilmu ini tidak
ditujukan kepada keridhoan Allah dan kepada keakhiratan. Ikhwan menilai ilmuwan
yang paling membahayakan adalah ilmuwan yang saat ditanya tentang hal-hal yang
telah menggejala di tengah-tengah masyarakat luas tidak bisa memberi jawaban
(solusi) yang baik dan kritis, melainkan justru turut larut ke dalam kesalahan,
penyimpangan dan kebodohan mereka dan getol menulis karya-karya “manipulatif”
yang menghantam para ulama dan filosof.[3]
b. Mengenai kurikulum pendidikan
tingkat akademis, mereka berpendapat agar dalam kurikulum mencakup logika,
filsafat, ilmu jiwa, pengkajian kitab agama samawi, ilmu syariat dan ilmu
pasti. Namun yang lebih diberi perhatian adalah ilmu keagamaan yang merupakan
tujuan akhir pendidikan.
c. Metode pengajaran dia
mengemukakan prinsip: “mengajar dari hal yang konkrit kepada abstrak”.
d. Perbedaan bakat individual
dan sebab-sebabnya.
Ikhwanus
Shafa berpendapat bahwa anak-anak didik, dapat menerima suatu kepandaian bila
sesuai dengan pembawaan mereka masing-masing.
e. Aspek-aspek yang menyebabkan
perbedaan budi pekerti (akhlak) dan tabiat manusia. Menurut mereka ada empat
aspek. Pertama; aspek campuran cairan yang terdapat dalam tubuh dan
perimbangan campuran antara cairan tersebut (empat cairan itu: darah, lendir,
empedu kuning, empedu hitam). Kedua: aspek lingkungan alan geografis dan
iklim. Ketiga: aspek lingkungan pendidikan/lingkungan sosial. Keempat:
aspek ketemtuan hukum astrologi terhadap waktu kelahiran.
f. Sifat-sifat seorang pengabdi
ilmu Ikhwanus Shafa melihat kewajiban seseorang yang belajar ialah, merendahkan
diri (tawaddlu) kepada siapa dia belajar, hormat dan ta’dzim kepadanya. Kepada
guru dinasehatkan agar lembut kepada murid-murid, sayang kepada mereka, tidak
kecewa melihat murid yang lambat memahami pelajaran, tidak rakus dan minta
imbalan.
g. Ulama-ulama di samping banyak
kelebihan ilmu, kadang-kadang memiliki juga penyakit dan kelemahan yang perlu
dijauhkan. Diantaranya adalah al-Kibru (kesombongan), al-Ujub (kekaguman pada
diri). Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa bertambah ilmu, tetapi tidak
tambah tawadlu kepada Tuhan, tidak tambah kasih pada orang-orang bodoh, tidak
tambah cinta kepada ulama, maka dia tidak tambah dekat pada Tuhan, malah tambah
jauh”.
h. Paham mereka mengenai
perkembangan jiwa condong kepada teori Tabularasa. Kata mereka “ketahuilah
bahwa pikiran jiwa sebelum mendapatkan ilmu atau paham adalah bagaikan selembar
kertas putih bersih yang belum tertulis apapun padanya. Bila sudah tertulis
sesuatu, benar atau salah maka ruang jiwa itu sudah berisi dan menolak untuk
ditulis dengan sesuatu yang lain dan sukar untuk menghilangkan dan
menghapusnya. Menurut Ikhwan al-Shafa jalan untuk memperoleh ilmu pengetahuan
itu ada tiga: jalan panca indra, jalan mendengarkan informasi, jalan tulis dan
bacaan.
i.
Paham mereka tentang proses belajar. Semua ma’rifah (pengetahuan) merupakan
perolehan (muktasabah) bukan bawaan.
j.
Jika semua ma’rifah itu adalah perolehan, bagaimana memperolehnya? Caranya
menurut Ikhwanus Shafa ialah: pembiasaan, mencontoh/menirukan dan berguru.
k. Berguru dalam menuntut ilmu
sangat penting dalam pandangan pendidik-pendidik islam. Karena menurut ikhwan
al-shafa pengetahuan itu mempunyai syarat-syarat. Syarat-syarat itu dapat
diketahui dalam batas kesanggupan seseorang. Untuk itu diperlukan guru atau
pendidik bagi pengajarannya, budi pekertinya, tutur bahasanya, ahklaknya dan
pengetahuannya. Ikhwan al-shafa mengatakan pentingnya peranan dulu dalam proses
belajar mengajar. Oleh karena itu mereka menentukan syarat-syarat seorang guru
sesuai dengan madzhab mereka, cita-cita politik dan dakwah mereka. “ketahuilah-
kata mereka-hai saudara-saudara guru yang cocok bagi saudara adalah guru yang
cerdas, baik tabiatnya dan budi pekertinya, jernih batinnya, cinta ilmu,
mencari kebenaran, tidak fanatik madzhab manapun”. Syarat ini hanya ada pada
jamaah mereka.
C. Pandangan Ikhwan al-Shafa
Tentang Agama
Ikhwan al-Shafa adalah Muslim. Namun
mereka memiliki interpretasi tersendiri mengenai agama pada umumnya dan tentang
Islam pada khususnya. Corak Syi’ah yang amat tampak dalam kegiatan misioner
memang dramatis sebab ini sngat membantu mereka menyentuh emosi massa. Secara
historis, sebetulnya Ikhwan al-Shafa tidak termasuk kedalam sekte manapun.
Sebetulnya mereka hanya berupaya dengan dibantu Islam dan filsafat Yunani,
untuk menanamkan doktrin spiritual yang dapat menggantikan agama-agama historis
dan yang pada pada waktu yang sama,
dapat diterima oleh semua orang serta tidak menyinggung perasaan siapapun.
Ikhwan al-shafa memandang agama
sebagai sebuah din, yaitu keniscayaan atau kepatuhan kepada seorang
pemimpin yang diakui. Agama sangat diperlukan sebagai sanksi sosial dalam
mengatur massa, dalam mensucikan jiwa, dan dikarenakan semua manusia sebelum
lahirnya pun sudah bertabiat untuk beragama dan berbuat kebajikan. Dalam
pengertian ini agama adalah satu untuk semua orang dan segala bangsa.
Penafsiran Ikhwan al-Shafa terhadap
teks Al-Qur’an lebih bersifat esotoris (secara batin), dalam artian pemaknaan
Al-Qur’an dengan simbol-simbol. Karena sifat penafsiran Ikhwan al-Shafa yang
esotoris ini, mereka dianggap sebagai kelompok aliran kebatinan.[4]
Pandangan Ikhwan al-Shafa tentang Filsafat
Bagi golongan Ikhwan al Shafa,
filsafat itu bertingkat-tingkat. Pertama-tama cinta kepada ilmu; kemudian
mengetahui hakikat wujud-wujud menurut kesanggupan manusia, dan yang terakhir
ialah berkata dan berbuat sesuai dengan ilmu. Mengenai lapangan filsafat, maka
dikatakannya ada empat, yaitu matematika, logika, fisika, dan ilmu ketuhanan.
Ilmu ketuhanan mempunyai bagian-bagian, yaitu:
1. Mengetahui Tuhan
2. Ilmu kerohanian
3. Ilmu kejiwaan
4. Ilmu politik
5. Ilmu keakhiratan
Bagi Ikhwan Al-Shafa, nilai utama
filsafat terletak pada upayanya mengungkapkan pengertian tersembunyi (batin)
dari wahyu. Filsafat juga mengajarkan agar manusia tidak berhenti pada makna
eksternal (zhahir) wahyu secara vulgar. Bahkan, filsafat mengajarkan bahwa
“hakikat kekufuran (kufr), kekeliruan, kebodohan, dan kebutaan ialah bersikap
puas terhadap tafsiran-tafsiran eksternal yang bertumpu pada
kesenangan-kesenangan ragawi dan imbalan-imbalan kasatmata. Bagi seorang bijak,
semua tafsiran itu justru mengisyaratkan kebenaran-kebenaran spiritual.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Ikhwan al-Shafa merupakan organisasi Islam militan yang
telah berhasil menghimpun pemikiran-pemikiran mereka dalam sebuah ensiklopedi, Rasail
Ikhwan al-Shafa. Melalui karya ini kita dapat memperoleh jejak-jejak
ajaran mereka, baik tentang ilmu pengetahuan, filsafat, dan agama. Terlepas
dari sisi positif dan negatif, Ikhwan al-Shafa telah menjadi bagian kajian
filsafat pendidikan Islam, Filsafat Islam, bahkan Tafsir Al-Qur’an Esotoris.
Inilah yang dapat kita urai, dan masih banyak yang belum terurai. Wallahu
A’lam.
Referensi
Busyairi Madjidi. 1997. Konsep kependidikan
para filosof muslim. Yogyakarta: al amin pres
http://ramie’s
blog.filsafat islam//
http://www.pergerakan
dari dalam goa_pusaka cita.com
Ridla, Muhammad jawwad. 2002. Tiga aliran utama teori
pendidikan islam. Yogyakarta:tiara wacana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar